Alfa dan Omega (1)
Keresahan
selalu bisa dilihat. Jika terlampau dalam, keresahan akan menyerupai semburat
keruh di bening mata.
Itulah yang tampak di mata Lobo malam itu. Ada
semburat tipis di matanya, mewakili setiap gelombang keresahan yang ia
sembunyikan. Akan tetapi gadis yang sedang duduk tepat di hadapannya saat itu mampu
melihat segalanya. Bahkan yang paling halus dan tersembunyi. Namanya Arana,
artinya laba-laba. Ayahnya memang ingin ia seperti itu. Seperti Black Widow, sang betina dominan yang
memangsa pejantannya setelah puas kawin, atau seperti Stegodyphus yang mengorbankan diri untuk jadi santapan pertama
anak-anaknya. Ia tangguh serupa betina alfa di dunia arachnida. Kelak sebagai
seorang istri dan seorang ibu.
Tidak ada
yang bisa disembunyikan oleh mata mu dari mata ku. Pikir Arana.
Sudah hampir setengah jam mereka berdua hanya diam.
Kadang mereka bertemu pandang, untuk
satu atau dua detik. Setiap kali pandangan mereka bertemu, Lobo selalu berusaha
membuang pandangannya. Ia takut tersedot masuk ke dalam mata gadis itu. Bagi
Lobo, Arana bukan gadis biasa, ia adalah gadis yang pesonannya mampu
melumpuhkan pria hanya dalam satu kedipan mata. Gadis yang tiba-tiba saja
menjadi titik lumpuh logikanya. Gadis yang menjadi pusat semestanya.
“Bagaimana kabar kamu hari ini?” Tanya Arana
tiba-tiba. Pertanyaan itu seperti memecah segala renungan Lobo.
“Aku baik-baik saja” Jawab Lobo gugup, berusaha
keras menyembunyikan jutaan kata-kata yang tertahan di hatinya.
“Kamu kelihatan resah.” Lanjut Arana.
“Selain keresahan apalagi yang kau lihat?” Tanya
Lobo. Tapi pertanyaan itu terdengar lebih ketus dari yang ia maksudkan. Ia
sedikit menyesal telah mengatakannya.
“Hmm, kalau saya hanya membuat kamu resah,
sebaiknya saya pulang.” Balas Arana tenang.
Mereka berdua kembali diam. Masing-masing seperti
sedang menimbang-nimbang dalam hati. Ada kerinduan yang ingin mereka tuntaskan
malam itu, namun ada semacam kecanggungan yang membatasi mereka. Di satu sisi,
Lobo merasa dunianya telah dimampatkan menjadi seukuran debu. Gadis itu
menguasainya. Dunianya telah bertuhan pada Arana.
“Apa yang kamu mau?” Tanya Arana lirih.
“Aku tidak tahu.”
“Selalu tiga kata yang sama, Aku—tidak—tahu.”
“Mungkin tidak hari ini Arana.” Balas Lobo lemah.
“Besok akan menjadi hari ini Lobo, mungkin
hari—ini—mu sudah berlalu sejak zaman dinosaurus kejatuhan Asteroid.” Tukas
Arana sedikit kesal.
Lobo tidak mampu berkata-kata, ia diam untuk
kesekian kalinya. Kali ini diam yang membuat muak dirinya sendiri. Arana
menghela nafas panjang sambil memainkan ujung-ujung kukunya. “Well, my time is
up… Aku benar-benar tidak mengenal mu Lobo.” Ucap Arana datar, lalu gadis itu
berlalu. Meninggalkan Lobo dalam renungannya. Malam itu di sebuah kedai kopi,
tidak jauh dari pusat kota. Lobo akan selalu mengingatnya sebagai malam
pertamanya sebagai manusia.
***
Ingatan
adalah kristal-kristal jernih yang mengendap di sudut-sudut kelupaan manusia.
ketika ia benar-benar dibutuhkan ia akan terangkat ke udara, berpendar-pendar,
membiaskan cahaya, membentuk proyeksi pada dinding-dinding otak. Proyeksi itu
adalah momentum-momentum yang dibekukan oleh pikiran lelah manusia.
Ingatan
pertama Lobo adalah hari dimana ia duduk di pangkuan Sang Padre. Memainkan
lelaki kurus di kayu salip pada rosari Sang Padre dengan jari-jari mungilnya.
Sebelum itu, Lobo tak punya apa-apa. Bagi Lobo kecil, dunianya hanya sebatas
gerbang gereja sampai semak-semak di belakang gudang penyimpanan. Sesekali Sang
Padre mengajaknya pergi ke pasar terdekat untuk membeli beras dan bahan
makanan. Kadang juga ke kantor pos untuk mengirim kartu-kartu natal. Tapi ia
segera membenci keramaian, seperti ia membenci anak-anak kampung yang sering
buang air kecil di selokan di depan gerejanya.
Lobo
kecil hanya punya satu teman, Sang Padre. Sejak umur 4 tahun Sang Padre
mengajarinya memahami alkitab dalam berbagai bahasa; Inggis, Perancis, Spanyol,
dan Indonesia. Tidak seperti anak kecil lain, Lobo baik-baik saja dengan buku
tebal tanpa gambar. Ia tumbuh dalam dunia anti visual itu. Ketika belum genap
10 tahun, ia sudah hafal seluruh isi alkitab dan memahaminya dalam cara yang
luar biasa. Kata para jemaat gereja, Lobo mewarisi kecerdasan dan kebijaksanaan
sang padre. Nama Lobo adalah pemberian sang padre sendiri, artinya serigala.
Padre Sebastian adalah pria paruh baya campuran Cina dan Jawa. Nama lengkapnya Sumargo
Sebastian Eko. 10 tahun sebelum berjodoh dengan Lobo, ia belajar theologi di
Spanyol dan tiba di gereja sederhana itu, lalu langsung jatuh cinta. Ia
bersumpah akan menghabiskan hidupnya untuk menyiarkan firman-firman Tuhan di
gereja itu.
Tentang
perjumpaanya dengan Lobo adalah sebuah berita yang tidak cukup ramai
dibicarakan pada masanya. walaupun belakangan mulai lagi diangkat kepermukaan
oleh ibu-ibu yang tidak senang pada kenyataan bahwa Lobo lebih cerdas dari
anak-anak mereka.
Seperti
kebanyakan orang-orang timur, masyarakat pelosok masih sangat kuat menjaga
tabu, dan memang begitu sejak dulu watak orang-orang di dusun tempat Lobo
dilahirkan. Beberapa mungkin bersimpati tapi tidak punya cukup empati untuk
merawat bayi hasil hubungan sedarah antara ayah dan anak. Ayahnya yang juga
adalah kakeknya mati dibunuh ibunya, lalu sang ibu mati gantung diri di bangsal
rumah sakit, sehari setelah melahirkan. Sang nenek yang adalah satu-satunya
kerabat tidak kuat menahan malu, lalu ikutan bunuh diri. Maka bayi itu jadi
darah terakhir dari keluarga naasnya. Pada saat seisi dusun saling lempar
tanggung jawab tentang siapa yang harus membesarkan bayi malang itu, dan rumah
sakit tidak punya kapasitas untuk merawatnya, Padre Sebastian menjadi
satu-satunya yang membuka hati untuknya. Ia rawat bayi itu seperti anak sendiri,
ia besarkan di dalam lingkungan gereja yang tenang, lalu ia beri nama…. Ignatio
Lobo.
Mantab Gan Artikel nya !!!
ReplyDeleteBaca Juga :
Situs Agen Bola Euro 2016, Agen Judi Online Terpercaya
Agen Bola Terpercaya
Agen Judi Bola
Agen Taruhan Bola
Agen Judi Online
KLIK DAFTAR
Dapatkan Promo Bonus 30% Setiap Kali Melakukan Deposit Minimal Rp.100.000,-