Bangku Taman Untuk Dian


      



      Tidak ada orang lain yang menganggap senin sore begitu special lebih dari seorang Dian. Pria lajang akhir duapuluhan dengan xenophobia, mudah panik, dan kebiasaan buang air besar di celana, jika sedang berdekatan dengan anjing dan wanita. Pria tipikal yang sering mengalami bullying semasa SMA.

Dian bekerja  di sebuah lembaga pemerintahan tingkat kota. Ketika ada orang yang berbasa-basi menanyakan jabatan apa yang didudukinya, Dian hanya mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti e-ek.. atau me-ek. Selama tujuh tahun bekerja, ia hanya menjalani satu pekerjaan. Menyalin surat. Setiap hari kerja ia harus menyortir setumpuk surat dan menyalinnya dengan mesin tik. Begitu  selama tujuh tahun terakhir.  Yang ia lihat mulai dari hari senin sampai hari jumat, jam delapan pagi sampai jam lima sore hanya surat-surat dinas dengan bahasa yang kaku, mesin tik tua yang berkarat, dan seorang wanita paruh baya berwajah kotak dengan kaca mata kotak yang selalu memakinya apabila ia salah mengetik kata Dinas menjadi Dians. Satu Dian dengan celana penuh tahi sudah cukup, tak perlu dibuat jamak.
         
yang cukup membuatnya senang selama tujuh tahun ini hanya harumnya hari gajian. Gajinya yang sedikit dan mengenaskan. Bahkan tidak cukup untuk membeli sepatu kulit baru, sehingga Dian tetap harus memakai sepatu kulit lamanya. Sepatu itu tampaknya bisa membuat kaki kita diamputasi jika terlalu lama dipakai.
         
Pada suatu senin sore yang biasa, Dian berjalan pulang melewati rute biasa untuk menunggu bus kota yang biasa pula. Untuk bisa mencapai tempat pemberhentian bus, ia harus melewati sebuah taman kecil, tempat biasanya para lansia dan anak-anak berjalan sore, lalu ia juga harus melewati sebuah pasar tradisional yang ramai, lengkap dengan seorang tukang obat botak yang selalu menawarinya minyak penumbuh rambut. Senin sore yang sama seperti senin sore lain selama tujuh tahun terakhir. Yang berbeda, hari ini Dian harus berjalan tanpa alas kaki karena sepatu tua miliknya menganga lebar. Jahitan sepatunya lepas. Sepatu kulit tua itu seperti ingin sekali menelannya bulat-bulat. Telapak kakinya terasa sakit karena tidak terbiasa tanpa alas kaki. Ketika sampai di sekitar taman, ia mencari tempat untuk duduk sejenak. Sambil tertatih-tatih menahan rasa pedih di telapak kakinya, ia berjalan menuju sebuah bangku taman kosong. Ia duduk lalu mengusap-usap kedua telapak kakinya, sambil celingukan mencari sesuatu untuk memperbaiki sepatu sialnya itu agar mau dipakai lagi, setidaknya sampai tiba di rumah.
         
Ketika Dian sedang sibuk mengakali sepatu keparatnya itu, ia dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba saja menyapanya.
         
“Pasti tersiksa sekali harus memakai sepatu itu sepanjang hari?” Sapa seorang wanita yang langsung duduk disamping Dian.
         
Dian hanya melongo sambil memandangi wanita itu.
         
“Kamu boleh memakai punyaku kalau kamu mau.” Menawari Dian sepasang sandal yang baru saja ia copot dari kedua kakinya yang mungil.

          “e-ek…. me-ek….” Dian mencoba dengan sangat keras untuk mengucapkan sesuatu.

          Wanita itu langsung menyodorkan sepasang sandal jepit mungil merah muda kepada Dian. “Aku sudah terbiasa berjalan-jalan disini tanpa alas kaki.” Kata wanita itu sambil tersenyum.

Senyumnya begitu lembut dan menenangkan, hingga sepertinya wanita ini tidak membuat Dian ingin buang air besar.

“Hei, kamu menduduki bunga yang baru saja aku petik.”  Pekik lembut wanita itu, yang saking lembutnya sampai terdengar seperti nyanyian ditelinga Dian.

“e-ek…. me-ek….”

“Sudahlah, hmm… aku harus segera pulang, sudah hampir malam, kamu kan juga harus cepat-cepat pulang.” Kata wanita itu sambil mengambil bunga-bunga yang tadi terduduki oleh Dian.
         
          Wanita itu berjalan pergi sambil memegang bunga-bunga tadi ditangannya. Belum seberapa jauh ia melangkah, ia kembali menoleh kearah Dian dan tersenyum, lalu melemparkan bunga-bunga yang dipegangnya kedalam tempat sampah yang berada tepat disampingnya. Lalu wanita itu kembali berjalan menjauh.

          Perjumpaan yang singkat tapi indah. Pikir Dian

          Dian masih saja terdiam, ia terus menatap kearah perginya wanita itu. Sampai akhirnya wanita itu tidak terlihat lagi, bersamaan dengan matahari sore yang terbenam dengan malas. Benar-benar senin sore yang indah untuk seorang Dian.



          Senin sore itu benar-benar special untuk Dian, sore itu ia berjalan tanpa alas kaki sampai rumah. Ia menenteng sepasang sandal pemberian wanita itu dengan wajah yang amat bahagia. Seperti seorang atlet dengan piala emas ditangannya. Bahkan penjual obat botak yang biasa menawarinya minyak penumbuh rambut menjelma jadi pria tampan lengkap dengan rambut ikal dan jambang halus. Sepertinya hari ini Tuhan baru saja menang lotere, lalu membagikan kecantikan dan ketampanannya kepada setiap makhluk dengan cuma-cuma.

          Begitu sampai di rumah, Dian langsung masuk ke kamarnya, lalu memandangi sepasang sandal merah muda itu bersama hatinya yang berbunga-bunga. Setelah sekian lama berkutat dengan hitam dan putih saja, akhirnya Tuhan menghadiahkan suatu sore merah muda untuk Dian. Sore yang begitu manis, yang membuatnya tidak ingin tidur malam ini. Ia ingin menghabiskan manis hari ini sendirian saja. Ia tersenyum sendiri, lalu bercakap-cakap dengan entah siapa. Sebuah percakapan imajiner yang hanya dimengerti oleh Dian dan Tuhan. Ia terus melakukan itu sepanjang malam, sampai lupa membersihkan kotoran yang menumpuk didalam celananya.

***
          Keesokan harinya, pada jam yang sama seperti kemarin, Dian kembali duduk dibangku taman itu. Ia menunggu wanita yang kemarin menyapanya. Ia masih menenteng sandal pemberian sang wanita, tapi hari ini sepatu keparat miliknya sudah ia perbaiki. Ia sangat berharap bisa bertemu dengan wanita itu sore ini. Ia ingin mengembalikan sandal milik wanita itu dan setidaknya mengucapkan terima kasih. Semalaman Dian berlatih keras untuk mengucapkan frase sederhana itu.
         
          Dian terus menunggu, dalam diam. Ia sudah terbiasa mengacuhkan segala sesuatu yang ada di sekitanya, dan hari ini hal itu terbukti sangat membantu. Ia tidak sedikitpun merasa jenuh. Ia hanya ingin menunggu.

          Ketika ia sadar wanita yang ia tunggu tidak akan datang sore itu, ia segera bergegas pulang. Entah apa yang membuatnya tau kapan ia harus pulang dan berhenti menunggu. Selama ini Dian tidak pernah memakai jam tangan, bahkan mungkin ia tidak tau caranya membaca jam, tapi ia selalu tepat waktu. Ia tidak pernah sekalipun terlambat sampai ke kantor. Sepertinya ia punya intuisi yang tajam tentang waktu.
         
          Keesokan harinya, masih pada jam yang sama, Dian tetap datang ke taman yang sama dan duduk di bangku yang sama. Untuk menunggu wanita yang sama, dalam diam yang sama, dan perasaan yang sama. Lalu karena kesadaran akan ketidak hadiran sang wanita ia pun kembali pulang, dengan masih menenteng sandal mungil pemberian sang wanita lengkap dengan ucapan terima kasih yang dilatihnya setiap malam.

          Begitu juga keesokan harinya

          dan besoknya lagi

          dan besoknya lagi

dan besoknya lagi

          Hingga akhirnya senin sore yang lain tiba dan Dian masih dengan setia menunggu sang wanita di taman itu, ia tetap duduk di bangku yang sama dalam diam yang sama.

          Dan wanita itu datang.

          “Hei ternyata kamu ada disini, sepertinya sepatu mu sudah bisa dipakai lagi” Sapa wanita itu, ditambah sebuah senyum yang membayar setiap detik penantian Dian selama seminggu ini.

          “e-ek…. me-ek….”

          “Sepertinya setiap senin sore kamu ada disini”

          “Y-ya…” Balas Dian seraya menyembunyikan kegugupannya. Ini kali pertama untuk Dian merasakan sesuatu bergerak lembut didalam dadanya, sesuatu yang begitu lembut tapi kuat. Semoga bukan semacam rasa mulas.

          “Setiap senin sore taman ini selalu sepi, hanya beberapa orang iseng yang datang, dan aku salah satunya.” Wanita itu berbicara dengan suara yang hampir menyerupai bisikan. Suaranya membuat Dian ingin terdiam selamanya.

          “Y-ya…” Dian mencoba menanggapi dengan gugup.

          “Apakah kamu sedang menunggu sesuatu?” Tanya wanita itu sambil memainkan ujung-ujung roknya. “Seorang wanita misalnya”

          “em-e…ek” Jawab Dian gugup. Ya aku sedang menunggu mu, sudah satu minggu terakhir aku menunggu mu disini. Pikir Dian

          “Aku juga sedang menunggu.” Bisik wanita itu. “Kamu tau sudah berapa lama aku menunggu disini setiap senin sore?” Kata-katanya dihentikan oleh setitik kecil air mata. “Aku sudah menunggu selama tujuh tahun… Ya aku mengghitungnya, bahkan setiap detiknya. Aku selalu menunggu dia disini, tidak peduli sore itu cerah atau hujan, panas ataupun ada badai… Aku terus menunggu, dan akan terus menunggu”

          Dian hanya terdiam.

          “Kamu tau seberapa menjemukannya menunggu?” Tambah wanita itu, yang terdengar seperti sebuah pertanyaan retorik bagi Dian. “Apalagi bila yang kamu tunggu adalah seseorang yang tidak kamu tau pasti kedatangannya, entah ia akan datang atau tidak. Seseorang yang tidak tau kalau kamu sedang menunggunya dan memperhatikannya dari kejauhan.” Tutur wanita itu sambil mengalihkan pandangannya ke sisi lain taman.

          Dian masih saja teriam, dan ini merupakan hal yang biasa terjadi padanya.

          “Aku mengenal dia tujuh tahun lalu disini… tidak, aku tidak benar-benar mengenalnya, lebih tepatnya aku melihat dia tujuh tahun lalu disini. Tepat disini.” Suara wanita itu sekarang terdengar begitu lirih, seperti hilang terbawa angin sore. “Sejak senin sore tujuh tahun lalu itu, aku selalu menghabiskan senin soreku disini. Aku selalu menunggu dia disini, dan pada setiap senin sore aku selalu memperhatikannya dari sini. Berharap ia melihat kearahku lalu pandangan kami saling bertemu, tapi percayakah kamu hal itu tidak pernah terjadi?” Wanita itu kembali melancarkan pertanyaan retoriknya.

          Dan Dian masih saja terdiam. Mungkin Diam adalah salah satu keahliannya, selain buang air dicelana.

“Dia tidak pernah dengan sengaja atau tidak mengarahkan pandangannya kesini. Dari jutaan kemungkinan, tidak satupun yang mengarahkan pandanganya kesini.” Tukas wanita itu sambil menunjuk kedua matanya dengan agak kesal. “Mungkin Tuhan menyembunyikan aku dari penglihatanya, hingga ia hanya melihat bangku kosong.”

Suasana senin sore itu tiba-tiba saja menjadi begitu hening. Seperti ada sebuah sekat kedap suara yang memisahkan mereka berdua dari dunia luar.

Sampai suaranya memecah kebisuan. “Hingga setelah kira-kira tiga tahun aku jalani rutinitas itu, pada suatu senin sore dia tidak datang. Senin sore berikutnya lagi dia juga tidak datang. Begitu juga senin sore berikutnya, dia tetap tidak datang.”

Terjadi lagi, sebuah jeda

“Tapi tidak satu senin sore pun aku lewatkan tanpa menunggu dia disini.” Kata wanita itu, memecah kekosongan, suaranya terdengar lebih kuat dari sebelumnya. “Hingga pada suatu senin sore yang lain…”

Lalu terjadi lagi, sebuah jeda panjang yang membuat Dian merasa tidak nyaman. Rasanya waktu ikut berhenti ketika wanita itu berhenti bicara. Seperti menjebaknya dalam ketiadaan.

“Hingga pada suatu senin sore yang lain setelah lebih dari satu tahun, ia datang lagi.” Lanjut wanita itu mengakhiri jeda panjang yang barusan saja tercipta, suaranya kembali terdengar lirih. Bahkan lebih lirih dari sebelumnya. “Ya akhirnya dia datang lagi.”

Dan lagi-lagi terjadi, sebuah jeda yang memuakan. Setidaknya Dian tau satu hal. Wanita itu suka sekali menghentikan waktu.

“Tapi dia tidak datang sendiri seperti biasanya. Dia menggendong anak kecil itu dan menggandeng perempuan itu.” Lanjut wanita itu tiba-tiba, sambil menunjuk kearah satu keluarga yang sedang bermain di sisi lain taman dengan gembira.

Dian dengan enggan melihat kearah wanita itu mengarahkan telunjuknya. Lalu terjadi lagi. Sebuah kekosongan. Lebih kosong dan lebih panjang dari sebelumnya. Hingga wanita itu kembali beretorika. “Kamu tau seberapa menjemukanya menunggu?” Kata wanita itu memecah kekosongan. Membuat Dian tahu satu hal lagi tentang wanita itu. Dia benar-benar suka beretorika.

Kali ini Dian menggelengkan kepalanya.

“Apalagi jika orang yang kamu tunggu tidak memberikannmu sepasang sandal ketika sepatu yang kamu pakai rusak jahitannya.” Jeda keparat itu terjadi lagi “Apalagi bila kamu bahkan tidak tau namanya… dan kamu tidak tau apa-apa tentang dia, tapi kamu tetap menunggunya… bahkan selama lebih dari tujuh tahun yang menjemukan”

Kembali lagi, sebuah jeda panjang yang memuakan. Kekosongan yang paling panjang yang pernah Dian rasakan. Ketiadaan yang membunuh segala sesuatu yang ada.

Hingga akhirnya wanita itu melanjutkan dengan suara yang sudah kembali normal. “Ah, sudahlah, sudah terlalu sore untuk menunggu. Aku harus pulang, kamu kan juga harus segera pulang, dan satu hal lagi” Kali ini wanita itu sudah bisa tersenyum seperti senin sore lalu. “Kamu boleh menyimpan sandal itu untuk kenang-kenangan, aku masih punya banyak di rumah.”

Wanita itu pergi,

Dian seperti kehilangan beberapa detik dalam hidupnya. Ia merasa telah meloncati beberapa detik itu tanpa sadar. Ada sebuah kepingan puzzle yang hilang, yang membuatnya sulit mengartikan dunia di sekitarnya.

Ia terjebak dalam kebisuan. Kali ini sendiri.

Sampai sebuah suara berat mengagetkannya. “Sedang menunggu sesuatu nak? Bapak juga sedang menunggu seseorang”

Seorang kakek lengkap dengan sapu lidi bergagang, sarung tangan, dan seragam oranye tiba-tiba saja telah duduk tepat di samping Dian.

Dian mengernyit lalu pergi dalam ketergesaan. Tujuh hari sudah cukup bagi ku. Pikir Dian

***
Inspired by : Sinyel by Nikolai Gogol







Jakarta, Desember 2010
Dian     : Win jangan makan terong lu
Naswin : Emang ngapa Kep?
Dian     : Tadi gua nonton "on the spot"; katanya terong bikin LEMOT
Naswin : Lu makan terong ga?
Dian     : Kaga
Naswin : Aah, ga percaya gua, hoax tuh...

Comments

Popular posts from this blog

System Of A Down - Sugar lyric interpretation (Interpretasi lirik Sugar)

System Of A Down - Suite Pee lyrics Interpretation (Interpretasi lirik Suite pee)

System Of A Down-Spiders Lyrics Interpretation (Interpretasi lirik Spiders)